10.21.2005
MANTRAM MATARAM
Senja tengadah bulan sabit gerah
Yogya buncah, membayang pada wajah wajah bertanya
hendak ke mana stasiun Tugu melaju
untuk apa tahta digelar,keraton memancar?
kita selalu kehabisan kata, bahkan mantra untuk menjawabnya

Merapi ardhi, dari swelagiri membuka tabir selubung misteri Syech Jumadil Kubro di puncak Turga menghela waktu
membaca silsilah dan laku suci mengurai bakti
dimana wedhus gembel menggenapkan arti
bahwa puncak selalu terselubung kabut tanda tanya : adakah surga?
bahwa puncak jadi sasaran tembak itulah sebabnya, pendaki selalu berangkat malam hari menggenapkan mimpi
karena takut turun lagi

Senja tengadah
matahari tanggal, membara merah darah
menatap pilar-pilar Yogya
untuk apa?
kejayaan dan keagungan
kehancuran dan petaka
diritualisasi dalam asap kemenyan
wangi kembang telon
menjadi pilar tegaknya keraton
mengintai dari balik cepuri, alusing budi
luwesing solah bawa, hakekat makna Jawi

Senja mengalung
matahari hijau dalam pancaran "teja manikmaya"
merambat diantara bubungan rumah
sejarah dan silsilah
dan Yogya melambai melampaui batas-batas angin dan waktu
meretas pada jarum sejarah jam pengulangan
mengalir anyir di atas Progo dan Selokan
hanyut bersama sampah, dahak, balak dan sial

Angin dari pantai selatan
berkelebat menghela mitos makna dan misteri manusia sampur Nyai Ratu
menebar wangi hingga tamansari
ketika para peri sedang melulur diri dari ujung rambut hingga hati nurani
ah......, Yogya adalah seorang putri tersipu malu di tatapan mata menggoda, maling aguna maling sakti

Gendhing ramyang mengumandang seorang pangeran dengan selendang dasa warna hamengku buwana
mencari hakekat makna manusia Jawa
membaca tataran-tataran
menawar sembah bakti dan tuntutan zaman
duduk hening di sanggar pamujan
menatap masa silam
membayangkan kedirian asal mula hakekat manusia Jawa
Ketika langit begitu dekat, dan hujan membasahkan benih-benih sepi
sejarah dan silsilah ketika Pangeran Senopati bertitah hikmat tinangkil di Siti Hinggil
bencong mencorong, menerbitkan fajar, dampar memancar tatanan dan tuntutan, kemanusiaan dan manzilah keagungan diprasastikan di dada seperti Wisnu membeber asta brata
dan Pangeran Mangkubumi menyegel akta Perjanjian Giyanti
hingga hutan Peberingan diarak dari Ambar Ketawang turun jadi kasultanan diantara Merapi Ardi, Tugu, Kandang Menjangan dan Kolam Pemancingan
masihkah menyimpan ikan-ikan, bagi anak-anak zaman?
sebagaimana Hamengkubuwana Nawa sumpah setia pada Nuswantara
ah..., sebegitu gamang, kita memaknai diri makna manusia Jawi

Atau ekstase di altar suci Imogiri
ketika seorang abdi tak mampu menghitung jumlah undak-undakan
mencapai pintu suci, tataran kepangeranan ada batas tak terbaca
ketika ideologi dan kitab suci, terselubung tradisi laku suci

Ada tangis mengiris dari bibir Pembayunku yang ayu
merajut cinta Mangir yang mengalir
ketika darah dijamaskan pada tahta dan makam terbelah dua
mantram mataram penuh misteri dan tanda tanya

Senjata membara matahari sirna
meninggalkan wajah-wajah pias menua pada tiang-tiang Malioboro
kaku menopang dagu
masa depan mantram mataram
entah buram terbaca anak-anaknya
ketika benteng Vredeburg dan Istana Negara sunyi ditinggal penghuninya
tapi masih saja ada bayi-bayi lucu yang dilahirkan dari pusat kerahiman ibu tumbuh dan dibesarkan bahasa iklan dan slogan serta harapan-harapan instan masa silam
puncak-puncak Yogya melambai
membaca dan bertanya
sultan, kemana kita musi berjalan?
hamengku buwana, bumi ini milik siapa?

O...., Yogya hanyalah keraton tua
dengan sejumlah lekuk liku tradisi dan misterinya
Ringin Kurung mengalung dalam teja manikmaya
gendhing sekati hilang sakti dan gaung ritme nadanya
atau mesjid besar, mencoba tetap tegar menyebar parfum mawar
diantara supermall dan jalan layang, hingga lesehan dan pasar kembang
ketika kita melongo, menyaksikan adegan kumpul kebo

Yogya juga sejumlah nama
datang pergi.....
dari Ki Hadjar Dewantara hingga Sudirman
dari KH Dahlan hingga Umar Kayam
atau kitab-kitab membeku di Sonobudaya
dan Tugu Golong Gilig, manunggaling kawula gusti kian misteri
ditelan deretan iklan dan asap kendaraan
ah......., Yogya adalah puisi gelap orang-orang mencari diri
manusia Jawa tinggal separo kata mengeja wajah senja
kemanusiaan kita yang buram dieja huruf-huruf lafadznya!
Ketimuran (Agama dan Filsafat Jawa)

* (Otto Sukatno CR, Pemerhati Sosial dan Budaya) Dalam rangka memperingati ulang tahun berdirinya keraton yang ke-249 *